Selasa, 13 Mei 2014

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PENYAKIT ADDISON

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.  Latar belakang
Sindrom insufisiensi korteks adrenal terjadi akibat defisiensi sekresi kortisol dan aldosterone. Apabila tidak diobati, maka penyakit ini dapat menyebabkan kematian. Penyebaba utama insufisiensi korteks adrenal adalah (1) penyakit primer korteks adrenal atau (2) defisiensi sekresi hormone adrenokortikotropik (ACTH).defisisensi corticotropin-realising-hormone (CRH) saja dapat meyebabkan defisiensi ACTH dan kortisol. Tetapi penyakit ini hanya dijumpai pada pajajn kronik glukookortikoid dosis farmakologik atau setelah pengangkatan adenoma adrenokorteks penghasil kortisol.
Apabila penyebab insufisiensi korteks adrenal adalah suatu proses patologik dikorteks adrenal, maka penyakit ini disebut penyakit Addison. Pasien dengan penyakit Addison memperlihatkan ketiga zona korteks sehingga terjadi difisiensi semua sekresi korteks adrenal: kortisol, aldosterone, dan androgen. Kadang-kadang pasien datang dengan defisiensi parsial sekresi hormone korteks adrenal. Defisiensi ini dijumpai pada kasus-kasus hipoaldesteronisme-hiporeninemik, yang hanya mengenai sekresi aldesteron, atau hiperplasi adrenal konginetal, dengan suatu defek enzim persial yang hanya menghambat sekresi kortisol.
Penyakit Addison jarang dijumpai dan memiliki prevalensi 4 dari 100.000 orang; dua pertiga pasien adalah perempuan. Diagnose ditegakkan antara usia 20 dan 50 tahun. Dahulu, tuberkolosis adalah penyabab utama penyaki Addison. Saat ini, dengan kemoterapi yang lebih baik, hanya sedikit pasien tuberkolosis yang mempunyai insufisiensi adrenal. Kerusakan korteks adrenal merupakan akibat dari proses autoimun pada lebih dari 50% pasien penyakit Addison. Autoantibodi adrenal ditemukan dalam titer tinggi pada sebagian pasien dengann penyakit Addison. Antibody ini bereaksi dengan antigen dikorteks adrenal, termasuk enzim 21 hidroksilase dan menyebabkan reaksi peradangan yang akhirnya menghancurkan kelenjar adrenal. Biassanya lebih dari 80% dari kedua kelenjar harus rusak sebelum timbul gejala dan tanda insufisiensi. Penyakit Addison dapat timbul bersaam dengan penyakit endokrin lain yang memiliki dasar autoimuitas. Diantaranya adalah tiroiditis hashimoto, beberapa kasus diabetes mellitus type 1, dan hipoparatiroidisme. Juga tampaknya terdapat predisposisi familial untuk penyakit endrokin autoimun, yang mungkin berkaitan dengan kelainan reaktifitas system imun pasien. Penyebab penyakit Addison yang lebih jarang adalah pendarahan yang disebabkan oleh pemakaina antikoogulan jangka panjang terutama heparin, penyakit granulomatosa non perkijuan, infeksi sitomegalovirus (CMV) pada pasien dengan sindrom imonodefisiensi didapat (AIDS), dan neuplasma metastatic yang mengenai kedua kelenjar adrenal. Pernah dilaporkan kasus-kasus jarang yaitu, insufisiensi korteks adrenal primer terjadi akibat mutasi di gen-gen yang mengode protein yang mengendalikan perkembangan adrenal atau steroidogenesis.( Price, Sylvia. 2006)
1.2. Rumusan masalah
Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, agar dalam penulisan ini kami dapat  memperoleh hasil yang di inginkan,maka kami  mengemukakan beberapa rumusan masalah. Rumusan masalah tersebut yakni :
1.   Definisi addison tersebut ?
2.   Etiologi dari addison tersebut ?
3.   apa saja jenis-jenis dari addison tersebut ?
4.   Bagaimana manifestasi serta penatalaksanaan addison tersebut ?
5.   Bagaimana PNP/ Nursing pathway penyakit addison tersebut ?
6.   Bagaimana cara menganalis kasus pada penderita glaukoma ?
1.3. Tujuan
1.   Tujuan umum
Supaya mahasiswa atau para pembaca mampu mengerti dan memahami tentang addison serta menerapkan dari penatalaksanaan pada saat di Rumah Sakit.
2.   Tujuan khusus
·         Mahasisa mampu menjelaskan etiologi.
·         Mahasiswa mampu membuat PNP (Pathway Nursing) serta menjelaskannya.
·         Mahasiswa mampu menguasai asuhan keperawatan pada penderita yg terkena addison.
BAB II
PEMBAHASAN
4.1.  Definisi Addison
Penyakit Addison adalah suatu kelainan endokrin atau hormone yang terjadi pada semua kelompok umur yang menimpa pria dan wanita sama rata. Penyakit ini dikarakteristikan oleh kehilangan berat badan, kelemahan otot, kelelahan, tekanan darah rendah, dan adakalanya penggelapan kulit pada kedua bagia tubuh yang terbuka dan tidak terbuka.
Penyakit Addison terjadi bila fungsi korteks adrenal tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan pasien akan kebutuhan hormone-hormon korteks adrenal. (Brunner dan Suddart edisi 8)
Bentuk primer dari penyakit ini disebabkan oleh atrofi/ destruksi (kerusakan) jaringan adrenal (misalnya respon autoimun, TB, infark hemoragik, tumor ganas) atau tindakan pembedahan. (Doenges, 1993)
Bentuk sekunder adalah gangguan pada kelenjar hipofisis yang menyebabkan penurunan sekresi/ kadar ACTH, tetapi biasanya sekresi aldosteron normal. (Doenges, 1993)
4.2.  Klasifikasi
Berdasarkan tingkat keparahan , penyakit addison di bagi menjadi dua, yaitu:
1.      Akut
Krisis adrenal. Terjadi apati, koma, dan nyeri epigastrik. Kadar gula darah rendah. Keadaan ini timbul setelah terjadi trauma, hipotensi berat dan sepsis.
Yang lebih jarang, keadaan ini bisa timbul pada pasien yang sebelumnya (dalam waktu 1-1,5 tahun) atau baru-baru saja mendapat pengobatan kortikosteroid dimana terdapat trauma, pembedahan atau infeksi akut, atau saat penghentian gangguan steroid. Bisa timbul setelah pembedahan untuk mengangkat adrenal pada sindrom cussing, atau pada pengobatan kanker payudara kecuali jika dilakukan terapi penggantian yang adekuat.
2.      Kronis
Terdapat kelemahan dan kelelahan yang onsetnya perlahan-lahan disertai gejala gastrointestinal berupa anoreksia, penurunan berat badan dan diare. Hipotensi sering kali postural, dan takikardia timbul pada tahap lanjut dari penyakit. Hiperpigmentasi terjadi pada tempat yang terpapar matahari, daerah yang mengalami gesekan, lipatan tangan dan mukosa bukal.
Insufisiensi adrenal kronis (penyakit addison) jarang terjadi (prevelansinya di Inggris 4/100.000) dan yang termasuk penyebabnya adalah : distruksi adrenal autoimun; infiltrasi adrenal dengan kanker sekunder, hodgkin, atau jaringan leukimik; destruksi TB, hemokromatosis, amiloidosis, histoplasmosis yang sering dijumpai. Bisa berhubungan dengan penyakit auto imun lain yang spesifik-organ, khususnya tiroiditis hasimoto (sindrom schmidt).
Keadaan ini bisa timbul sekunder akibat hipopituitarisme selama pengobatan TB adrenal (atau renal) dan pada sindrom adreno genital.         (David rubenstein. 2007)
4.3.  Etiologi
Etiologi dari penyakit Addison bentuk primer :
a)    Infeksi kronis, terutama infeksi-infeksi jamur
b)   Sel-se kanker yang menyebar dari bagian-bagian lain tubuh ke kelenjar-kelenjar adrenal
c)    Amyloidosis (sekelompok keadaan yang di cirikan oleh penimbunan protein fiblirer yang tidak larut dalam berbagai organ)
d)   pengangkatan kelenjar-kelenjar adrenal secara operasi
Etiologi dari penyakit Addison bentuk sekunder :
a)    Tumor-tumor atau infeksi-infeksi dari area
b)   Kehilangan aliran darah ke pituitary
c)    Radiasi untuk perawatan tumor-tumor pituitary
d)   operasi pengangkatan bagian-bagian dari hypothalamus
e)    operasi pengangkatan kelenjar pituitary
Penyebab lain dari ketidakcukupan adrenal sekunder adalah operasi pengangkatan dari tumor-tumor yang jinak atau yang tidak bersifat kanker dari kelenjar pituitary yang memproduksi ACTH (Penyakit Cushing). Pada kasus ini, sumber dari ACTH secara tiba-tiba diangkat, dan hormon pengganti harus dikonsumsi hingga produksi ACTH dan cortisol yang normal pulih kembali.
Pada satu waktu, kebanyakan kasus penyakit addison adalah merupakan komplikasi dari TBC. Saat ini, 70% dianggap idiopatik. Sejak satu setengah hingga dua per tiga klien dengan Addison idiopatik memiliki sirkulasi antibody yang bereaksi secara spesifik menyerang  jaringan adrenal, kondisi ini mungkin merupakan suatu dasar autoimun. Sebagai tambahannya, beberapa kasus penyakit Addison disebabkan oleh neoplasma, amyloidosis, atau infeksi jamur sistemik.
Insufisiensi adrenal primer itu jarang. Insiden dan prevalen di USA tidak diketahui. Penyakit ini mengenai orang dengan segala macam tingkat usia dan menyerang baik laki-laki maupun perempuan.
Insufisiensi adrenal primer disebabkan oleh hipofungsi kelenjar adrenal. 75% penyakit Addison primer terjadi sebagai proses autoimun. Insufisiensi adrenal umumnya terlihat pada orang dengan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). 20% penyakit Addison dikarenakan oleh TBC. Metastasisnya dari paru, payudara, saluran GI, melanoma, atau lymphoma (kelainan neuplastik jaringan limfoid).
Insufisiensi adrenal sekunder adalah hipofungsi dari unit pituitary-hipotalamus. Umumnya kebanyakan menyebabkan perawatan kronik dengan menggunakan glukokortikoid untuk yang kasus nonendokrin. Penyebab lain termasuk adrenalectomy bilateral, hipopituitari menghasilakan penurunan sekresi ACTH oleh kelenjar pituitary, tumor pituitary atau infark, dan radiasi.
4.4.  Patofisiologi
Penyakit Addison, atau insufisiensi adrenokortikol, terjadi bila fungsi korteks adrenal tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan pasien akan hormon-hormon korteks adrenal. Atrofi autoimun atau idiopatik pada kelenjar adrenal merupakan penyebab pada 75% kasus penyakit Addison (Stren & Tuck, 1994). Penyebab lainnya mencakup operasi pengangkatan kedua kelenjar tersebut. Tuberkolosis (TB) dan hitoplasmosis merupakan infeksi yang paling sering ditemukan dan menyebabkan kerusakan pada kedua kelenjar adrenal. Meskipun kerusakan kelenjar adrenal akibat proses autoimun telah menggantikan tuberkolosis yang terjadi akhir-akhir ini harus mempertimbangkan pencantuman penyakit infeksi ini ke dalam daftar diagnosis. Sekresi ACTH yang tidak adekuat dari kelenjar hipofisis juga akan menimbulkan insufisiensi adrenal akibat penurunan stimulasi korteks adrenal.
Gejala insufisiensi adrenokortikal dapat pula terjadi akibat penghentian mendadak terapi hormon adrenokortikol yang akan menekan respond normal tubuh terhadap keadaan stress dan mengganggu mekanisme umpan balik normal. Terapi dengan pemberian kortikosteroid setiap hari selama 2 hingga 4 hingga dapat menekan fungsi korteks adrenal; oleh sebab itu, kemungkinan penyakit Addison harus diantisipsi pada pasien yang mendapat pengobatan kortikosteroid. (Brunner & Suddart, 2002)
4.5.  Tanda dan gejala
a.    Gejala awal : kelemahan, fatique, anoreksia, hausea, muntah, BB menurun, hipotensi, dan hipoglikemi.
b.    Astenia (gejala cardinal) : kelemahan yang berlebih
c.    Hiperpiqmentasi : menghitam seperti perunggu, coklat seperti terkena sinar matahari, biasanya pada kulit buku jari, lutut, siku
d.   Rambut pubis dan aksilaris berkurang pada perempuan
e.    Hipotensi arterial (td : 80/50 mmHg/kurang)
f.     Abnormalitas fungsi gastrointestinal
Dengan berlanjutnya penyakit yang disertai hipotensi akut sebagai akibat dari hipokortikoisme, pasien akan mengalami krisis addisonian yang ditandai oleh sianosis, panas dan tanda-tanda klasik syok: pucat, perasaan cemas, denyut nadi cepat dan lemah, pernapasan cepat serta tekanan darah rendah. Disamping itu, pasien dapat mengeluh sakit kepala, mual, nyeri abdomen serta diare, dan memperlihatkan tanda-tanda kebingungan serta kegelisahan. Bahkan aktivitas jasmani yang sedikit berlebihan, terpajan udara dingin, infeksi yang akut atau penurunan asupan garam dapat menimbulkan kolaps sirkulasi, syok dan kematian jika tidak segera diatasi. Stres pembedahan atau dehidrasi yang terjadi akibat persiapan untuk berbagai pemeriksaan diagnostik atau pembedahan dapat memicu krisis addisonian atau krisis hipertensif. (Brunner & Suddart, 2002)
4.6.  Komplikasi
a.     Syok, (akibat dari infeksi akut atau penurunan asupan garam)
b.    Kolaps sirkulasi
c.     Dehidrasi
d.    Hiperkalemiae
e.     Sepsis
f.     Ca. Paru
g.    Diabetes mellitus
4.7.  Penatalaksanan
1.      Penatalaksanaan ditinjau dari tingkat keparahan:
a.    Kegagalan adrenal kronis: penggantian glukokortikoid dengan hidrokortison 20 mg/hari dalam dosis terbagi, ditambah dengan terapi terhadap infeksi atau penyakit penyrta, atau pembedahan. Pengganti mineralokortikoid (fludrokortison) hanya dilakukan pada kegagalan adrenal primer.
b.    Kegagalan adrenal akut: merupakan sebuah kegawat daruratan medis. Cairan intravena (NaCL fisiologis) dalam jumlah besar dan hidrokortison diberikan dengan dosis yang tinggi. Faktor pemicu (infeksi dan lain-lain) ditangani. Pantau kadar elektrolit dan glukosa. (Patrick davey, 2005)
2.      Penatalaksanaan secara medic
a.    Terapi dengan pemberian kortikostiroid setiap hari selama 2 sampai 4 minggu dosis 12,5 – 50 mg/hr
b.    Hidrokortison (solu – cortef) disuntikan secara IV
c.    Prednison (7,5 mg/hr) dalam dosis terbagi diberikan untuk terapi pengganti kortisol
d.   Pemberian infus dekstrose 5% dalam larutan saline
e.    Fludrukortison : 0,05 – 0,1 mg/hr diberikan per oral
3.      Penatalaksanaan secara keperawatan
a.    Monitoring ketat TTV klien ketika penyakitnya telah terdiagnosa. Check nadi, paling tidak setiap 4 jam. Laporkan penurunan tekanan darah dan perubahan ortostatik.
b.    Ketika terjadi rehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit terdeteksi, kaji manifestasi dari meningkatnya vitalitas fisik dan emosionalnya. Kaji pada lokasi di mana terdapat penekanan pada tulang, pada klien yang imobilisasi, untuk mencegah dekubitus. Dengan berbagai macam terapi, maka kelesuan dan kelemahan seharusnya berangsur-angsur berkurang dan akhirnya menghilang.
c.    Monitoring untuk pajanan suhu dingin dan infeksi. Segera laporkan pada dokter jika manifestasi dari infeksi berkembang, misalnya sakit tenggorokan atau rasa terbakar saat berkemih. Ingat, klien dengan penyakit Addison tidak dapat mentolerir stress. Infeksi akan menambahi beban stress pada tubuh, butuh lebih tinggi pada level kortisol selama infeksi terjadi.
d.   Kaji manifestasi dari ketidakseimbangan sodium dan potassium. Berat badan harian mengindikasikan pengukuran obyektif dari bertambahnya BB, atau bahkan menurunnya BB. Jika terapi penggantian steroid tidak adekuat, kehilangan sodium dan retensi potassium dikoreksi terus. Jika dosis steroid terlalu tinggi, kelebihan jumlah sodium dan air dipertahankan, dan ekskresi potassium yang tinggi.
4.8.   Pemeriksaan Penunjang
1.    Pemeriksaan Laboratorium :
a.    Penurunan konsentrasi glukosa dan natrium (hipoglikemia dan hiponatrium)
b.    Peningkatan konsentrasi kalium serum (hiperkalemia)
c.    Peningkatan jumlah sel darah putih (leukositosis)
d.   Penurunan kadar kortisol serum
e.    Kadar kortisol plasma rendah
2.    Pemeriksaan radiografi abdominal menunjukan adanya klasifikasi di adrenal
a.    CT Scan
Detektor klasifikasi adrenal dan pembesaran yang sensitive hubungannya dengan insufisiensi pada tuberculosis, infeksi, jamur, penyakit infiltrasi malignan dan non malignan dan hemoragik adrenal
b.    Gambaran EKG
Tegangan rendah aksis QRS vertical dan gelombang ST non spesifik abnormal sekunder akibat adanya abnormalitas elektrolik
c.    Tes stimulating ACTH
Cortisol adarah dan urin diukur sebelum dan setelah suatu bentuk sintetik dari ACTH diberikan dengan suntikan. Pada tes ACTH yang disebut pendek cepat. Penyukuran cortisol dalam darah di ulang 30 sampai 60 menit setelah suatu suntikan ACTH adalah suatu kenaikan tingkatan – tingkatan cortisol dalam darah dan urin.
d.   Tes Stimulating CRH
Ketika respon pada tes pendek ACTH adalah abnormal, suatu tes stimulasi CRH “Panjang” diperlukan untuk menentukan penyebab dari ketidak cukupan adrenal. Pada tes ini, CRH sintetik di suntikkan secara intravena dan cortisol darah diukur sebelum dan 30, 60 ,90 dan 120 menit setelah suntikan. Pasien – pasien dengan ketidak cukupan adrenal seunder memp. Respon kekurangan cortisol namun tidak hadir / penundaan respon – respon ACTH. Ketidakhadiran respon – respon ACTH menunjuk pada pituitary sebagai penyebab ; suatu penundaan respon ACTH menunjukan pada hypothalamus sebagai penyebab.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
4.1.  Data dasar pengkajian pasien
1.      Data Demografi
Identitas pasien: nama, alamat, umur (semua usia), jenis kelamin (laki-laki dan perempuan).
2.      Riwayat penyakit
a.       Penyakit sekarang
Pada pasien dengan penyakit Addison gejala yang sering muncul ialah pada gejala awal : kelemahan, fatiquw, anoreksia, nausea, muntah, BB turun, hipotensi dan hipoglikemi, astenia (gejala cardinal). Pasien lemah yang berlebih, hiperpigmentasi, rambut pubis dan axila berkurang pada perempuan, hipotensi arterial (TD : 80/50 mm/Hg)
b.      Penyakit dahulu
Perlu dikaji apakah klien pernah menderita tuberkulosis, hipoglikemia maupun Ca paru, payudara dan limpoma.
c.       Penyakit keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami penyakit yang sama / penyakit autoimun yang lain.
3.      Pemeriksaan Fisik (ADL)
a.    Aktivitas/istirahat
Gejala:
-          Lelah, nyeri/kelemahan pada otot (terjadi perburukan setiap hari)
-          Tidak mampu beraktivitas atau bekerja.
Tanda:
-          Peningkatan denyut jantung/denyut nadi aktivitas yang minimal. Penurunan kekuatan dan rentang gerak sendi.
-          Depresi, gangguan kosentrasi, penurunan inisiatif/ide.
-          Latergi.
b.    Sirkulasi
Tanda:
-          Hipotensi termasuk hipotensi postural.
-          Takikardia, disritmia, suara jantung melemah.
-          Nadi perifer melemah.
-          Pengisisan kapiler memanjang.
-          Ekstermitas dingin, sianosis, dan pucat. Membran mukosa hitam keabu-abuan (peningkatan pigmentasi).
c.    Integritas ego
Gejala:
-          Adanya riwayat faktor stres yang baru dialami, termasuk sakit fisik/pembedahan, perubahan gaya hidup.
-          Ketidakmampuan menghadapi stres.
Tanda:
-          Ansietas, peka rangsang, depresi, emosi tidak stabil.
d.   Eleminasi
Gejala:
-          Diare sampai dengan adanya kontipasi
-          Kram abdomen.
-          Perubahan frekuensi dan karateristik urine.
Tanda:
-          Diuresis yang diikuti dengan oliguria.
e.    Makanan/cairan
Gejala:
-          Anoreksia berat (gejala utama), mual/muntah
-          Kekurangan zat garam
-          Berat badan menurun dengan cepat.
Tanda:
-          Turgor kulit jelek, membran mukosa kering.
f.     Neurosensori
Gejala:
-          Pusing, sinkope (pingsan sejenak), gemetar.
-          Sakit kepala yang berlangsung lama yang diikuti oleh diaforesis, kelemahan otot.
-          Penurunan toleransi terhadap keadaan dingin atau stres. Kesemutan/baal/lemah.
Tanda:
-          Disorentasi terhadap waktu, tempat, dan ruang (karna kadar natrium rendah), latergi, kelemahan mental, peka rangsang, cemas, koma (dalam keadaan krisis)
-          Parastesia, paralisis (gangguan fungsi motorik akibat lesi), astenia (pada keadaan krisis).
-          Rasa kecap/penciuman berlebihan, ketajaman pendengaran meningkat.
g.    Nyeri/kenyamanan
Gejala:
-          Nyeri otot, kaku perut, nyeri kepala.
-          Nyeri tulang belakang, abdomen, ekstermitas (pada keadaan krisis).
h.    Pernapasan
Gejala:
-          Dipsnea
Tanda:
-          Kecepatan pernapasan meningkat, takipnea, suara napas, krakel, ronki (pada keadaan infeksi)
i.      Keamanan
Gejala:
-          Tidak toleran terhadap panas, cuaca (udara) panas.
Tanda:
-          Hiperpigmentasi kulit (coklat, kehitaman karena kena sinar matahari atau hitam seperti perunggu) yang menyeluruh atau berbintik-bintik.
-          Peningkatan suhu, demam yang diikuti dengan hipotermia (keadaan krisis).
-          Otot menjadi kururs
-          Gangguan tidak mampu berjalan.
j.      Seksualitas
Gejala:
-          Adanya riwayat menopouse dini, amenorea.
-          Hilangnya tanda-tanda seks sekunder (misal: berkurangnya rambut-rambut pada tubuh terutama pada wanita.
-          Hilangnya libido.
k.    Penyuluhan/pembelajaran
Gejala:
-          Adanya riwayat keluarga DM, TB, kanker
-          Adanya riwayat tiroiditis, DM, TB, anemia pernisiosa.
Pertimbangan:
-          DRG menunjukkan rerata lama dirawat; 4,3 hari.
Rencana pemulangan
-          Membutuhkan bantuan dalam hal obat, aktivitas sehari-hari, mempertahankan kewajibannya.
l.      Pemerikasaan diagnostik
Kadar hormon
-          Kortisol plasma: menurun dengan tanpa respond pada pemberian ACTH secara IM (primer)atau ACTH secara IV.
-          ACTH: meningkat secara mencolok (pada primer) atau menururn (sekunder).
-          ADH: meningkat.
-          Aldesteron: menurun.
-          Elektrolit: kadar dalam serum mungkin normal atau natrium sedikit menururn, sedagkan kalium sedikit meningkat. Walaupun demikian, natrium dan kalium yang abnormal dapat terjadi sebagai akibat tidak adanya aldesteron dan kekurangan kortisol (mungkin sebagai akibat dari krisis).
-          Glukosa: hipoglikemia.
-          Ureum/kreatinin: mungkin meningkat (karena terjadi penurunan perfusi ginjal).
-          Analisis gas darah: asidosis metabolik.
-          Eritrosit: normositik, anemia normokromik (mungkin tidak nyata/terselubung dengan penurunan volume cairan) dan hematokrit meningkat (karena hemokosentrasi). Jumlah limfosit mungkin rendah, eosinofil meningkat.
-          Sinar x: jantung kecil, klasifikasi kelenjar adreanal, atau TB (paru, ginjal) mungkin akan ditemukan. (Doenges, Marilynn. 2000)
4.2.  Diagnosa dan intervensi
a.       Diagnosa
1.         Kekurangan volume cairan b/d ketidakseimbangan input dan output.
2.         Nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh b/d metabolism lemak abnormal
3.         Kelelahan b/d penurunan produksi energy metabolisme
4.         Resiko tinggi penurunan curah jantung b/d menurunnya volume sirkulasi
5.         Harga diri b/d hiperpigmentasi pada kulit dan membrane mukosa
6.         Kurang pengetahuan b/d keterbatasan kognitif
b.      Intervensi
1.         Kekurangan volume cairan b/d ketidakseimbangan input dan output.
Tujuan   :
-       Klien dapat mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit setelah dilakukan perawatan 1X24 jam.
Kriteria hasil:
-       Pengeluaran urin normal 1cc/kgBB/jam
-       TTV normal (N: 80-100x/menit, S: 36,5-370C,  TD:110-120/70-80 mmHg)
-       Turgor kulit elastic
-       Rasa haus hilang
-       Warna kulit tidak pucat
No
Intervensi
Rasional
1.
Pantau TTV, catat perubahan tekanan darah pada perubahan posisi, kekuatan dari nadi perifer
Hipotensi postural merupakan bagian dari hipovolemia akibat kekurangan hormone aldosteron dan penurunan curah jantung sebagai akibat dari penurunan kolesterol
2
Ukur dan timbang BB klien
Memberikan pengganti volume cairan dan keefektifan pengobatan, peningkatan BB yang cepat disebabkan oleh adanya retensi cairan dan natrium yang berhubungan dengan pengobatan steroid.
3.
Berikan perawatan mulut secara teratur.
Membantu menurunkan rasa tidak nyaman akibat dari dehidrasi dan mempertahankan kerusakan membrane mukosa
4.
Kolaborasi: Cairan NaCl 0,9 %
Mungkin kebutuhan cairan pengganti 4 – 6 liter, dengan pemberian cairan NaCl 0,9 % melalui IV 500 – 1000 ml/jam, dapat mengatasi kekurangan natrium yang sudah terjadi.
5.
Kolaborasi: Berikan obat sesuai dosis.
a) Kartison (ortone) / hidrokartison (cortef) 100 mg intravena setiap 6 jam untuk 24 jam, Mineral kartikoid, flu dokortisan, deoksikortis 25 – 30 mg/hr peroral.
Dosis hidrokortisol yang tinggi  mengakibatkan retensi garam berlebihan yang mengakibatkan gangguan tekanan darah dan gangguan elektrolit.
6.
Kolaborasi: beri dextros.
Dapat menghilangkan hipovolemia
2.       
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d hipoglikemia..
Tujuan   :
-       Kebutuhan nutrisi klien kembali adekuat setelah dilakukan intervensi selama 1X24 jam.
Kriteria hasil:
-       Mempertahankan berat badan stabil, bebas dari tanda malnutrisi.
No
Intervensi
Rasional
1.
Kaji riwayat nutrisi
Mengidentifikasi defisiensi, menduga kemungkinan intervensi.
2.
Timbang BB setiap hari
Anorexia, mual, muntah, kehilangan pengaturan metabolisme oleh kortisol terhadap makanan dapat mengakibatkan penurunan berat badan dan terjadinya malnutrisi.
3.
Diskusikan makanan yang disukai oleh pasien dan masukan dalam diet murni.
Dapat maningkatkan masukan, meningkatkan rasa partisipasi.
4.
Anjurkan klien makan sedikit tapi sering.
Makan sedikit dapat menurunkan kelemahan dan meningkatkan pemasukan juga mencegah distensi gaster.
5.
Berikan lingkungan yang nyaman untuk makan, misalnya bebas dari bau tidak sedap
Perlu bantuan dalam perencanaan diet yang memenuhi kebutuhan nutrisi.
6.
Kolaborasi: Rujuk ke ahli gizi
Dapat maningkatkan masukan, meningkatkan rasa partisipasi

DAFTAR PUSTAKA
Brunner and Suddart. 2002. Keperawatan Medikal Bedah vol 2. Jakarta: EGC
Guyton. 2012. Fisiologi Manusia & Mekanisme Penyakit. Jakarta: EGC
Price, Sylvia. 2006. Patofisiologi. Jakarta: EGC
Davey, Patrick. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga
Doenges, Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC
Corwin, Elizabeth J.2009.Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Rubeinstein, David, dkk. 2007. Kedokteran klinis. Jakarta: EGC